Apa Itu Kelekak?
Masyarakat Bangka terdahulu sering berpindah-pindah tempat dan membuka lahan baru untuk tempat tinggal dan bercocok tanam. Tradisi bercocok tanam mereka setelah membuka lahan dimulai dari menanam padi. Setelah padi dipanen, lahan tersebut digunakan untuk berkebun lada. Dan ketika pohon lada sudah tidak produktif lagi, maka kebun itu ditanami dengan tanaman keras untuk kemudian ditinggalkan berpindah membuka lahan baru di tempat lain.
Tanaman keras ini memiliki fungsi ganda. Selain untuk melestarikan lingkungan tanah pertanian sehingga tidak menjadi lahan kritis, juga sebagai tanda kepemilikan lahan. Tanaman tersebut selain dapat berumur panjang, masa menunggu untuk panen pertama pun lama,. Sehingga yang akan memanennya bisa jadi bukan penanamnya melainkan keturunannya. Tanaman keras yang digunakan misalnya durian, cempedak, manggis, duku, rambutan, karet dan sebagainya.

Budaya menanam tanaman keras inilah yang oleh masyarakat setempat dinamakan budaya kelekak. Biasanya, sebuah lahan disebut kelekak setelah berumur puluhan bahkan ratusan tahun.
Beda Kelekak, Kelukoi dan Kepumpon
Awalnya, kelekak terbentuk secara tidak disengaja. Bermula dari biji buah yang dibuang begitu saja setelah memakan daging buahnya saat istirahat di tengah mengurusi kebun/ladang. Karena itu, isinya bisa berbagai jenis tumbuhan dan jarak tanamnya pun tidak beraturan. Perawatannya diserahkan sepenuhnya kepada alam.
Ada pula yang sengaja memanam untuk anak-cucunya sendiri, inilah yang dinamakan kelekak pribadi atau kelukoi. Kelukoi jarak tanamnya lebih teratur daripada kelekak. Jika jenis tumbuhan yang ditanam sama, maka dinamakan kepumpon.
Kelekak, Cerminan Kehidupan Sosial Budaya
Lazimnya, kelekak merupakan milik bersama masyarakat beberapa desa yang tinggal di situ, baik dari sisi perawatan maupun pengambilan manfaatnya. Kelekak semacam ini disebut juga kelekak banyak/wakaf. Hal ini sesuai dengan adat Melayu yang pada dasarnya mengedepankan kebersamaan.
Dalam pemeliharaan dan pengambilan manfaat dari sebuah kelekak, aturan tidak tertulis diperlakukan turun-temurun sejak masa pembuat kelekak. Beberapa aturan tersebut misalnya: hasil kelekak tidak untuk diperebutkan atau dikuasai sebagian orang serta tidak boleh dijual. Pengambilan buahnya harus secara arif. Tidak dengan cara merusak, hanya dipetik yang sudah matang dan jumlah yang diambil secukupnya sesuai kebutuhan.
Budaya kelekak ini menunjukkan betapa masyarakatnya menjunjung nilai-nilai sosial yang luhur. Kelekak memiliki tujuan konsumtif namun tidak untuk tujuan ekonomis. Budaya ini juga merupakan kearifan lokal yang sangat baik dalam menjaga keseimbangan lingkungan alam dan manusia. Dimana sebagaimana seharusnya manusia tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam, namun juga menjaganya agar tetap produktif dan dapat langgeng digunakan oleh keturunannya.
Kelekak Yang Kian Langka
Suasananya masih asri dengan pemandangan berupa jajaran pepohonan hutan. Beristirahat di sini tentu sangat nyaman karena jauh dari hiruk-pikuk kota. Kecuali pada hari libur. Kelekak Community akan ramai dikunjungi wisatawan serta para pesepeda yang sedang menjelajah alam.
Pepohonan asli yang sudah ada di hutan ini dijaga kelestariannya. Selain itu, di sini juga ditanam aneka umbuhan khas Bangka, seperti: keraduduk, keramunting, rumbia dan nasi-nasi. Juga terdapat beberapa kolam untuk memelihara ikan yang biasa ada di kelekak, seperti: tepuyuh, julung-julung, gabus atau delek.


Masjid Kayu merupakan pusat kegiatan di Kelekak Community dan digunakan sebagai tempat kajian keagamaan multimedia. Kajian fiqih, kajian alquran maupun tahfidz. Di kawasan ini juga terdapat miniatur ka’bah yang dijadikan lokasi manasik haji bagi masyarakat Bangka.
Terdapat pula contoh rumah panggung (parak) yang menjadi ciri rumah di tengah perkebunan Bangka. Rumah ini dilengkapi juga dengan dapuk (tungku berkaki) yang sering ditemui di rumah-rumah orang Bangka di masa lalu. Anda juga dapat mencicipi makanan pedesaan khas Bangka di sini, seperti ubi rebus, kemilik, bijur (ubi jalar) dan aneka kue.


Untuk menuju rumah panggung tersebut, kita harus melalui jembatan bambu yang dililiti oleh sulur rotan untuk menyeberangi sungai kecil yang sudah dibendung.



Selain itu, galeri ini juga memiliki aneka bentuk mainan tradisional. Kita bisa mengetahui mengenai apa yang dimainkan oleh anak-anak Pangkalpinang sejak zaman dulu dan bagaimana cara memainkannya.

Di Kelekak Community juga disediakan tempat anak-anak untuk memainkan permainan tradisional seperti caklingking dan cangkulon.
Wah, seru sekali ya berkunjung ke sini! Benar-benar akan menjadi pengalaman tak terlupakan menikmati keindahan alam sambil belajar budaya dan sejarah. Apalagi, rencananya akan ditambahkan museum lada di kawasan ini. Sungguh sebuah tempat yang sarat akan nilai ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Kelekak Community ini memiliki program KECCE, yaitu singkatan dari Kelekak Community Children. Di hari Jumat, Sabtu dan Minggu anak-anak sekolah akan diundang dan diperkenalkan dengan semua permainan pada zaman dahulu, diajarkan cara pembuatannya dan bisa membawa pulang hasilnya.
Jadi, kapan kita bisa berkunjung ke sini?
#pesonapangkalpinang